Tidak Diakomodir Sebagai Daerah Terdampak Blok Masela, Aliansi MBD Datangi DPRD Maluku


AMBON – BERITA MALUKU.
Aksi protes tidak masuknya Maluku Barat Daya (MBD) sebagai daerah terdampak Blok Masela, masih terus dilakukan Aliansi MBD. 


Aksi dimotori sebagian mahasiswa MBD yang ada di Ambon, berlangsung di DPRD Provinsi Maluku, Kamis (10/12/2020), dengan membawakan sejumlah famlet yang bertuliskan stop diskiminasi masyarakat MBD, Garuda di dadaku perut di timor leste, kajian Analisisi Dampak Lingkungan (AMDAL) Blok Masela prematur. 


Dalam aksinya, mendapat perhatian dari Ketua Komisi III, Richard Rahakbauw. Walaupun duduk di komisi yang tidak berhubungan dengan hal ini, namun kepedulian untuk memperjuangkan hak masyarakat, sehingga Kader Partai Golongan Karya (Golkar) bertemu dengan Pendemo. 


Usai pertemuan diruang komisi III, Rahakbauw kepada awak media mengatakan, pertemuan aliansi MBD bersama DPRD merupakan kedua kali, sebelumnya bersama Ketua DPRD dan Komisi II, dengan tuntutan meminta AMDAL terhadap blok masela harus dikaji ulang, di karenakan berdampak terhadap biota laut sesuai hasil kajian AMDAL yang dilakukan tim intelektual dan mahasiswa MBD. 


“Karena berbeda kemudian mereka meminta untuk harus ditinjau ulang sebab ada perbedaan yang kemudian berdampak bagi biota laut, terubu karang dan lain sebagainya,” ungkapnya. 


Karena kewenangan di Komisi II, maka Mantan Wakil Ketua DPRD Maluku itu, akan meminta Komisi II menindaklanjuti hal ini untuk dibahas bersama mitra terkait, sehingga ada titik temu terkait Amdal.


"Tidak bisa membiarkan mereka seperti ini, dan puji tuhan dalam pertemuan saya sudah telepon Ketua Komisi II, Saoda Tethol, beliau berjanji untuk hari Selasa mengundang pihak terkait lingkungan hidup dan ESDM, termasuk Pemda dan DPRD MBD untuk membahas sebagai upaya mencari solusi terhadap tuntutan mereka," tuturnya. 


Terkait pembagian PI 10 Persen yang di permasalahan, menurutnya di dalam pembagian PI 10 persen tidak ada daerah penghasil dan bukan penghasil, tertuang dalam Undang-Undang 22 tahun 2001 tentang minyak dan Gas Bumi, yang sudah direvisi dan ditindaklanjuti dalam peraturan pemerintah 34 tahun 2005, tentang kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, disebutkan sejak disetujuinya rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan di produksikan dari satu wilayah kerja, kontraktor dalam hal ini inpex wajib menawarkan PI 10 persen kepada BUMD melalui Pemda.


“Karena itu kewenangan untuk mengelola PI 10 Persen ada di Pemerintah Daerah, dalam ha ini Gubernur,” ucapnya. 


Terkait Pembagian PI 10 Persen


Rahakbauw menilai tidak tidak menguntungkan bagi pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Karena kabupaten/kota pasti akan mempengaruhi kabupaten/kota lain, sehingga tidak bisa satu pendapat dalam rangka mengajukan tuntutan dan lain sebagainya.


“Hal karena posisi tawar kita lemah di nasional,” pungkasnya. 


Untuk itu, kata Rahakbauw telah di usulkan untuk dibawa ke sistim Holding BUMD, dimana pemda mengelola tetapi anak-anak perusahaan melibat 11 kabupaten/kota, sehingga PAD dibagi semua sama rata, sehingga kemudian bisa dapat membangun di daerah masing-masing.


"Nanti urusan kedalam, di wilayah itu MBD dan KKT ada prioritas untuk penambahan lebih dari pada yang lain, tidak apa-apa yang penting daerah lain bisa menikmati hasil untuk pembangunan daerah, karena mereka anak Maluku," tandasnya.

Subscribe to receive free email updates: