SBY seolah menjadi mantan pacar yang haram untuk dihubungi lagi. Karena akses dengan ring satu ditutup, SBY akhirnya lebih sering curhat di medsos; lagi-lagi mirip mantap pacar yang masih baper alias terbawa perasaan.
Akibatnya, cuitan atau postingan SBY tentang pemerintahan selalu menjadi ramai dibahas, baik oleh yang pro-pemerintah maupun yang lain. Bukan hanya soal hoax yang baru-baru ini sedang panas, tetapi sejumlah isu sebelumnya sempat membuat heboh.
Pada Januari 2015, misalnya, SBY mempertanyakan kemungkinan mutasi para perwira Polri dan TNI yang dilakukan Jokowi hanya karena orang-orang tersebut diangkat oleh Cikeas.
Jokowi pun membalas lewat akun Facebooknya, yang intinya membantah mutasi di tubuh Polri dan TNI adalah upaya bersih-bersih “orang” SBY.
“Tidak ada itu istilah ‘Pembersihan orang-orang Bapak SBY’, kita tidak sedang mengalami ‘Patahan Politik’, juga tidak sedang dalam pertempuran antar generasi, justru sekarang ini perjalanan tatanan pemerintahan dilakukan secara gradual dan juga memperhatikan benang merah segala kebijakan,” tulis Jokowi dalam akun Facebooknya, Selasa (20/1/2015).
Jokowi menyebut kebijakan di masa lalu yang kurang bagus, diperbaiki, yang sudah bagus ditingkatkan, sebuah kata-kata klise yang semua orang pasti ucapkan.
Saat kisruh demo kolosal 411 dan 212, SBY juga angkat bicara lewat media. Kali ini dengan menulis artikel opini di salah satu media nasional, yang intinya dia menyebut dirinya menjadi korban keganasan media sosial dalam bentuk fitnah dan adu domba. SBY mengaku difitnah sebagai dalang makar dan berencana menjatuhkan Presiden Jokowi.
"Banyak bisikan maut, bahkan termasuk spanduk, yang mengadu saya dengan Pak Jokowi, misalnya. Sebagai veteran pejuang politik saya punya intuisi, pengalaman, pengetahuan dan logika bahwa banyak fitnah yang memanas-manasi Presiden agar percaya bahwa SBY hendak menjatuhkan Presiden, tidak selalu berasal dari pihak Pak Jokowi," kutipan tulisannya.
SBY mengingatkan maraknya permainan intelijen bohong dan buatan alias false intelligence. Seperti saat menjelang terjadinya kudeta terhadap Presiden Soekarno di bulan September tahun 1965, yang diisukan ada Dewan Jenderal yang mau makar.
"Kemudian, yang menamakan dirinya Dewan Revolusi justru yang melakukan makar, dengan dalih daripada didahului oleh Dewan Jenderal," cerita SBY.
Yang paling anyar adalah cuitan SBY soal hoax, "Ya Allah, Tuhan YME. Negara kok jadi begini. Juru fitnah & penyebar 'hoax' berkuasa & merajalela. Kapan rakyat & yang lemah menang?"
Oleh kubu PDIP, cuitan tersebut justru ditanggapi dengan menyebut SBY sebagai bukan orang penting yang harus ditemui oleh Jokowi. "Pak Jokowi kan tahu kepada siapa bertemu dan siapa yang penting dia ketemu. Kalau tidak penting ngapain? Mau mantan presiden, ya itu menurut pak Jokowi, kalau penting dia ketemu," kata Politisi PDIP Andreas Parera.
Pernyataan Andreas persis dengan seorang mantan yang ingin bertemu, tetapi ditolak, "Tak penting. Kamu bukan siapa-siapa aku lagi!," menirukan ucapan anak muda kepada mantan yang masih menyimpan harapan.
Karena sama sekali tak diharapkan eksistensinya, akhirnya SBY berperilaku laiknya sejumlah mantan pejabat tinggi lain yang kerap baper di medsos setelah dipecat. Kita paham bahwa mengumbar hubungan antagonistik dengan mantan presiden sangat tidak elok, karena ini mengindikasikan ada perang tak berkesudahan. Baik pihak Jokowi atau SBY harus sadar bahwa segala perilaku politik mereka akan menjadi drama yang diamati publik secara luas, jadi mereka berkewajiban memberikan tontonan yang baik dan bermutu. [src/trc/rimanews]