Dilema Harga Minyak Goreng di Pasaran


Oleh: M. Rismawan Ridha

Statistisi Ahli Pertama, BPS Kab. Maluku Tengah


HEADLINE berita di berbagai media massa beberapa waktu yang lalu dihebohkan dengan kenaikan harga minyak goreng di pasaran. Hal ini tentunya sangat meresahkan mengingat rumah tangga tidak bisa terlepas dari kebutuhan akan salah satu dari sembilan bahan pokok (sembako) tersebut. 


Kenaikan ini dipicu oleh melonjaknya harga Crude Palm Oil (CPO) dunia yang naik menjadi US$ 1.340/MT. Di lain sisi, gangguan cuaca juga memiliki peran penting dalam menekan tingkat produksi minyak nabati dunia. Secara agregat, produksi minyak nabati dunia tercatat anjlok di angka 3,5% tahun 2021. Imbasnya, meskipun lockdown mulai dilonggarkan, ketidakseimbangan supply dan demand terhadap komoditas minyak goreng di pasaran tidak dapat dihindari. 


Seiring dengan membaiknya kondisi pandemi, salah satu aktivitas perekonomian di hilir sebagai salah satu konsumen akhir minyak goreng yakni subsektor penyediaan makanan dan minuman di Maluku Tengah mengalami perbaikan aktivitas ekonomi yang signifikan. Hal ini terlihat dari sudah mulai banyak rumah makan dan restoran yang kembali beroperasi. Di pusat-pusat kecamatan Kota Masohi pun terlihat sudah beroperasinya kembali Dulang Patita dan munculnya berbagai kuliner lesehan (Booth) pinggir pantai di sepanjang Pelabuhan Ina Marina. Tak hanya itu, penjualan makanan melalui media facebook dan perantara ojek online juga seakan sudah menjadi habituasi baru bagi masyarakat.


Jika kita menelaah keadaan inflasi saat ini, Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku melaporkan bahwa Kota Ambon mengalami inflasi sebesar 0,34 persen pada Januari 2022 dibanding bulan sebelumnya. Minyak goreng menjadi salah satu dari sepuluh komoditas yang ambil andil dalam inflasi tersebut dengan kontribusi sebesar 0,0889 persen. Angkanya turun cukup signifikan dibandingkan Desember 2021 yang sebesar 0,31 persen. 


Jika dibandingkan Januari 2021, Kota Ambon mengalami inflasi sebesar 4,38 persen (y-on-y), mencatatkan keadaan inflasi tertinggi dalam tiga tahun terakhir. 


Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menyampaikan, pemerintah telah membuat dua skema intervensi pasar untuk menurunkan harga minyak goreng. Paket kebijakan yang telah dirumuskan tersebut diharapkan efektif dalam mengendalikan harga minyak goreng di pasar. Yang pertama, dengan anggaran sebesar Rp. 7,6 triliun, pemerintah akan menyediakan 11 juta liter minyak goreng kemasan sederhana seharga Rp. 14.000. Oleh sebab itu, mulai 1 Februari 2022, Kementrian Perdagangan telah memberlakukan batas maksimal harga minyak goreng curah menjadi Rp. 11.500/liter dan kemasan premium Rp. 14.000/liter di seluruh Indonesia. Namun kenyataannya, kebijakan ini hanya mampu mengalokasikan 5 juta liter minyak goreng. 


Yang kedua, pemerintah melakukan subsidi harga minyak goreng dengan satu harga Rp.14.000 untuk semua jenis kemasan. Namun nyatanya kebijakan ini juga tidak berjalan mulus. Rencana yang diproyeksikan dapat bertahan 6 bulan kini hanya mampu bertahan 2 pekan saja. 


Menilik dari kenyataan tersebut, meskipun telah ditetapkannya Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk komoditas minyak goreng, intervensi pemerintah dalam menjaga kestabilan harga minyak goreng ini dirasa belum ampuh pada level daerah. Di beberapa kota besar, masyarakat melakukan panic buying di berbagai ritel modern yang telah melakukan penyesuaian harga terhadap komoditas minyak goreng tersebut. Dikarenakan memang kebijakan intervensi pasar oleh pemerintah hanya sampai pada level ritel modern. Hal ini kontras dengan harga minyak goreng pada tingkat daerah, contohnya di Maluku Tengah, yang sempat melejit hingga mencapai harga Rp. 24.000/liter pada minggu ke 4 Desember itu hanya turun menjadi Rp. 22.000/liter sd Rp. 21.500/liter hingga awal Februari. 


Kebijakan HET yang hanya menjangkau ritel modern saja memiliki implikasi dimana upaya menurunkan harga minyak goreng hingga ke level daerah yang notabene didominasi oleh pasar tradisional mustahil dapat dicapai. 


Jika kenaikan harga minyak goreng ini tidak dapat diatasi, maka konsumsi masyarakat akan sangat terjepit, selain itu juga akan mengganggu perkembangan aktivitas penyediaan makanan dan minuman. Biaya produksi mereka akan meningkat dan ujungnya memaksa pelaku-pelaku usaha ini untuk menaikkan harga makanan, meskipun pada akhirnya kita tidak bisa menjamin perbaikan dalam pengeluaran konsumsi masyarakat akan terus berlangsung selama masa pandemi. 


Selanjutnya apakah masyarakat Maluku Tengah dapat segera merasakan dampak dari intervensi pengendalian harga minyak goreng? Atau haruskah masyarakat berdamai dengan harga minyak yang begitu mencekik ini?

Subscribe to receive free email updates: