Ditolak, Pembangunan Incenerator di Suli Dialihkan ke Papua, Maluku Rugi Belasan Miliar


AMBON - BERITA MALUKU.
Pemerintah Pusat telah memutuskan incinerator yang tadinya akan dibangun di Maluku, tepatnya di Desa Suli, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Pulau Ambon, kini telah dibatalkan dan dialihkan ke Papua.
Pengalihan pembangunan alat pembakar limbah dalam bentuk padat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pasca adanya penolakan keras dari masyarakat setempat dan Majelis Pekerja Harian (MPH) Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM).

"Barang itu sudah disiapkan Kementerian lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk Maluku, tapi dengan adanya penolakan seperti itu kita mau apa. Sudah clear, informasi yang kami dapat pembangunan incenerator telah dialihkan ke Papua, pemerintah provinsi Maluku juga telah mengeluarkan surat untuk menghentikan," ungkap Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku, Roy Siauta ketika dikonfirmasi Senin (24/01/2022).

Dikatakan, dialihkannya pembangunannya Incenerator tentu sangat merugikan Maluku yang telah berjuang selama dua tahun dari 2020 - 2021 untuk mendapatkan bantuan dimaksud bersama tiga provinsi lainnya.

Pasalnya keberadaan alat dimaksud, selain dapat menangani limbah baik itu limbah Rumah Sakit (RS) maupun limbah rumah tangga dalam bentuk padat, juga memberikan pemasukan bagi daerah melalui pendapatan asli daerah (PAD) mencapai belasan miliaran rupiah.

Dicontohkannya, selama pandemi Covid-19 seluruh limbah RS dibawa ke jawa untuk dimusnakan melalui pihak ketiga, bahkan anggarannya sangat besar mencapai belasan miliar. Jika incinerator dibangun di Maluku maka anggaran tersebut bisa menjadi pemasukan bagi daerah.

"Jika anggaran belasan miliaran telah dikeluarkan untuk itu, tapi ketika alat mau dibangun untuk mengkafer seluruh RS di Maluku ditolak, kan uang dari RS dibawa ke pihak ketiga, dana covid-19 dibayar ke pihak ketiga, kalau alat itu dibangun maka seluruh dana dibayar ke kita dan bisa mendatangkan PAD, artinya dia balik lagi ke daerah. Makasar saja satu tahun Rp5 miliar yang disetor ke daerah, bahkan saat ini daerah lain berlomba-lomba untuk mendapatkan alat itu, tetapi kita justru menolaknya, kan sayang sekali," tutur Siauta.

Menurutnya, keberadaan incinerator bukan sesuatu hal yang menakutkan, di Makassar saja incinerator berdekatan langsung dengan pemukiman masyarakat dan pabrik makanan, salahnya dimana, bahkan incinerator yang dibangun di Maluku merupakan alat yang terjanggih.

Bahkan sebelum pembangunan, pihaknya telah dilakukan sosialisasi kepada masyarakat, bahkan ia bersiap hadir di atas mimbar Gereja untuk menerangkan langsung kepada masyarakat, namun kenyataannya tidak direspon. Mirisnya lagi, di tanggal 8 oktober dalam rapat di kantor Gubernur, penolakan yang disampaikan tidak ada dasar secara ilmiah, hanya penolakan berdasarkan kajian akademik.

"Hasil kajian akademik mereka berkaitan TPA seperti yang ada di Toisapu, tetapi yang dibangun adalah incinerator. Jadi bedalah bumi dan langit," ucapnya.

Siauta menuturkan, incinerator berfungsi untuk menyelesaikan persoalan limbah rumah sakit dalam bentuk limbah padat, bukan limbah cair. Dimana limbah tersebut dibakar habis menjadi debu, kemudian disimpan paling lambat 90 hari baru dikirim keluar.

"Penolakan kalau hanya ada pembangunan Universitas Kristen Indonesia Maluku itu pandangan mereka, tetapi dari sisi teknis kita sudah menguji itu. Bahkan kantor kita untuk pengawasan juga ada disitu. Incinerator juga menjadi satu kewajiban untuk semua RS, kalau itu bahan berbahaya kenapa harus dibangun di RS, kan tidak sulit," bebernya.

Mengingat pembangunan incinerator telah dialihkan ke Papua, dirinya tidak mau berbicara panjang lebar lagi.

"Perjuangan untuk mendapartkan bantuan itu bukanlah gampang selama dua tahun, tapi bagi kami provinsi maluku sudah selesai, tidak perlu dipercakapkan lagi, karena barangnya sudah dibangun di Papua," tutupnya.

Subscribe to receive free email updates: