Dulu Diam Itu Adalah Emas, Sekarang : Diam Sudah Gak Musim!

DIAM SUDAH GAK MUSIM

Banyak orang menyangka, kaum spesies dengkul pandai meributkan hal remeh temeh, disangkut pautkan dengan agama. Orang mengira itu disebabkan karena kebodohan belaka.

Bukan. Sesuatu yang tampaknya bodoh itu, menurut saya, memang sengaja disetting. Sengaja diproduksi. Tujuannya simpel. Untuk menciptakan kegaduhan terus menerus di masyarakat dan menjaring spesies dengkul lainnya. Mereka dijanjikan surga, padahal yang mau diciptakan adalah neraka.

Target besarnya untuk menciptakan konflik horisontal. Sebab konflik horisontal hanya bisa dibuat jika populasi spesies ini semakin banyak.

Penciptaan konflik horisontal itu dibarengi dengan terus menerus melemahkan negara. Segala isu diprosuksi untuk menciptakan ketidakpercayaan publik. Yang paling gampang adalah memperhadapkan negara dengan agama.

Kenapa perlu diciptakan konflik horisontal dan pelemahan peran negara?

Begini. Jika negara kuat, masyarakatnya kuat, akan tercipta sistem yang kokoh. Demokrasi berjalan, fungsi korektif menyehatkan dan ada keseimbangan kekuasaan.

Jika negara kuat dan masyarakatnya lemah, yang terjadi adalah otoritarian. Kita pernah merasakan di jaman Soeharto. Sementara jika negara lemah, masyarakat kuat, yang akan terjadi adalah chaos.

Nah, jika negara lemah dan masyarakatnya juga lemah, yang akan terjadi adalah intervensi asing. Kondisi seperti ini terjadi di Suriah, Libya, Irak, Yaman, juga berbagai negara Afrika.

Coba lihat kondisi kita sekarang, kegiatan melemahkan fungsi negara terus menerus dilakukan. Masyarakat diajarkan anarkis. Hanya karena fatwa MUI ormas bisa melakukan sweeping ke mall atau menekan aparat. Desain uang dan banyak soal remeh temeh lainnya dipermasalahkan.

Salah satu ciri negara yang melemah adalah berkuasanya gerombolan sipil bergaya militer di masyarakat. Lihat saja. Laskar-laskar, organsasi kedaerahan, dan kelompok agama para militer saat ini. Pada beberapa kasus justru ulahnya mengalahkan polisi. Sweeping dan pembubaran kegiatan agama, sudah sering kita dengar. Juga demonstrasi untuk menekan sistem hukum.

Organisasi yang jelas-jelas tujuannya merusak NKRI tumbuh dan makin membesar. Mereka bahkan bisa teriak-teriak hendak menggantikan Pancasila dengan khilafah di jalanan umum.

Semua kebijakan negara dibenturkan dengan isu agama. Spesies dengkul yang otaknya dimakan tikus, melahap semua ini dan menganggap sebagai perjuangan agama. Mirip publik Libya diawal kehancurannya.

Bagaimana dengan usaha pelemahan masyarakat? Itu dilakukan dengan mengkondisikan konflik horisontal. Sama juga, modalnya adalah isu agama dan rasial.

Nah, coba perhatikan. Seberapa gampang kini masyarakat menuding kafir dan sesat kepada orang lain. Makin enteng bukan? Bukan saja kepada mereka yang berbeda agama, tapi juga yang seagama. Pada siapapun yang berbeda maunya berantem terus.

Sedangkan konflik rasial terus dihembuskan dengan menciptakan permusuhan pada etnis Tionghoa. Yang paling bodoh mereka menyamakan segala hal berbau RRC dengan WNI berdarah Tionghoa. Itu sama saja bilang bubur kacang ijo sama dengan satur toge.

RRC sebagai sebuah negara, jelas berbeda dengan WNI etnis Tionghoa. Suriname yang warganya berdarah Jawa juga gak ada hubungannya dengan Indonesia. Cuma ada hubungan sejarah. Tidak lebih.

Mengapa kebencian pada etnis Tionghoa terus dihembuskan? Selain menciptakan konflik horisontal juga usaha melumpuhan ekonomi kita.

Harus diakui, akibat kebijakan Orba, saudara-saudara kita etnis Tionghoa menempati posisi ekonomi cukup baik. Selama ini, karena trauma dengan kerusuhan 1998, orang-orang kaya lebih memilih menyimpan asetnya di luar negeri. Aset-aset inilah yang ingin ditarik kembali oleh Presiden Jokowi dengan program tax amnesty.

Langkah itu akan terhambat jika para pemilik aset besar itu, tidak merasa nyaman dengan kondisi Indonesia.

Bayangkan jika ketidaknyamanan ini terus terpelihara. Bukan hanya aset dari luar ogah masuk, justru malah duit di dalam negeri akan kabur ke luar.

Ini berakibat akan semakin beratnya ekonomi nasional. Rakyat susah. Lalu muncul ketidakpuasan pada pemerintah. Nah masalah ekonomi, konflik agama dan rasial merupakan paduan yang pas untuk memporakporandakan bangsa.

Dari semua usaha itu, kita lihat tampaknya seperti ada sekelompok orang yang sedang membangun landasan untuk mendaratnya kekuatan asing disini. Polanya sama dengan Suriah atau Libya. Ada orang yang hendak mengundang perampok masuk ke dalam rumah dan merampas harta benda kita.

Jika itu terjadi, siapakah yang paling menderita? Seluruh rakyat Indonesia. Termasuk spesies dengkul itu juga. Termasuk anak cucu keturunan mereka.

Sekarang mereka seolah bangga, seperti sedang memperjuangkan agamanya. Bergaya mau mencium bau surga. Padahal yang dilakukannya cuma merusak masa depan anak cucunya sendiri. Cuma menghadirkan neraka di negerinya sendiri.

Untuk menyelamatkan masa depan anak kita, tidak ada cara lain selain mengurangi populasi spesies dengkul ini dan menjaga jangan sampai terjadi konflik horisontal. Sambil terus memperkuat peran negara.

Jangan diam. Indonesia membutuhkanmu. Anak cucumu berharap besar padamu.

Dulu orang mengira diam itu emas. Sekarang diam sudah gak musim

Sumber : 
http://ift.tt/2hiAkAd

Subscribe to receive free email updates: