BERITA MALUKU. Komunikonten (Institut Media Sosial dan Diplomasi) bekerjasama dengan Trenzing menggelar diskusi media di kantor Trenzing, Jalan Guntur No. 9, Kota Bogor pada Senin sore (19/2/2018), dengan tema “Peran jurnalis dan warganet mencegah kampanye hitam dan politisasi SARA di Pilkada serentak 2018 guna menjaga persatuan NKRI."
Siaran pers Komunikonten kepada media ini, Selasa (20/2/2018) menyebutkan, Diskusi ini dimoderatori oleh Nihrawati AS (Pemimpin Redaksi Media di Bogor).
Hadir sebagai narasumber: Gebril Daulay (Tenaga Ahli KPU RI), Yophiandi Kurniawan (Praktisi Media), Hariqo Wibawa Satria (Direktur Eksekutif Komunikonten), dan Ridwan Budiman (Pegiat Literasi Media).
Pengamat media sosial dari Komunikonten, Hariqo Wibawa Satria mengatakan, konten fitnah, hoaks lahir dari pikiran pendek, yang ada di benak mereka hanya memenangkan kandidatnya tanpa memikirkan kepentingan nasional, karenanya mari jaga rapat redaksi tim media sosial dari godaan setan yang terkutuk. Hariqo juga mengimbau agar setiap konten yang diproduksi oleh tim sukses diberikan identitas atau kode tertentu, sehingga masyarakat dapat menilai, tim media sosial mana yang paling inovatif dan kreatif dalam mengkampanyekan kandidatnya di Pilkada serentak 2018.
“Keberagaman itu dari nikmat dari Tuhan, mempersoalnya apalagi merusaknya berarti melawan Tuhan. Para kandidat harus sadar bahwa konten fitnah, hoaks yang dilakukan tim medianya tidak akan memenangkan dirinya. Kampanye hitam bukan saja mendekatkan pelakunya ke neraka, tapi juga bisa berujung penjara”, ujar Hariqo Wibawa Satria.
Hariqo menambahkan, ada 17 Provinsi, 39 Kota, dan 115 Kabupaten yang akan melaksanakan Pilkada Serentak pada 2018. Semua kandidat tentunya memiliki tim media. Karena jangan sampai ada konten yang merusak keutuhan NKRI.
“Setiap tim media sosial kandidat dalam Pilkada Serentak 2018 harus berkompetisi memenangkan kandidatnya, itu pasti. Namun tim media sosial kandidat juga harus berkolaborasi menjaga keutuhan NKRI dengan melawan kampanye hitam dan politisasi SARA, tidak hanya saat Pilkada namun sampai kapanpun. Pilkada Serentak lebih dari sekadar ujian berdemokrasi, namun juga ujian dalam berbangsa dan bernegara”, tambah Hariqo yang juga sebagai Direktur Eksekutif komunikonten ini.
Sementara itu, Praktisi Media, Yophiandi Kurniawan mengatakan, pembuat konten media sosial saat ini banyak yang kreatif. Kampanye memang tujuannya meningkatkan derajat keterpilihan kandidat dan menurunkan tingkat keterpilihan kandidat lawan. Karenanya optimalkan potensi positif dan kreatif anak muda, bukan dengan menjerumuskan mereka dengan melakukan kampanye hitam.
“Setidaknya ada tiga karakteristik orang Indonesia terkait media dan informasi. Pertama, kurang mencerna informasi. Kedua, kurang berpendidikan tapi cepat menelan informasi. Ketiga, berpendidikan namun kurang mencerna informasi,” paparnya.
Menurut Yophiandi Kurniawan, membuat konten negatif itu susah. “Saya menilai orang-orang yang bisa membuat pesan negatif atau hitam yang reaktif ini punya tingkat kecerdasan tinggi, namun sayang sekali digunakan untuk hal-hal yang merusak orang banyak, saya menilai tingkat kerawanan hoax dan kampanye hitam ini sudah mengganggu keamanan berbangsa dan bernegara, karenanya negara harus terus melakukan langkah-langkah strategis.
Pegiat Literasi Media, Ridwan Budiman mengungkapkan, pemilih pemula pada Pilkada serentak 2018 nanti kurang lebih 10,6 juta dari total 160 juta DPT secara keseluruhan di 171 daerah yang menyelenggarakan. Mereka punya kemungkinan besar menjadi korban hoax. Terlebih, jika konten hoax tersebut disebarkan oleh orang terdekatnya, baik itu orangtua, kakak, adik, teman, bahkan pacarnya.
“10,6 juta itu adalah generasi masa depan Indonesia, konten-konten yang diproduksi saat Pilkada Serentak 2018 harus mampu membuat mereka terdidik dan bangga jadi orang Indonesia. Jangan mengajarkan politik yang menghalalkan segala cara kepada generasi muda Indonesia” papar Ridwan Budiman.
Karena itu menurut Ridwan, semua pihak harus berbenah, termasuk institusi vital demokrasi seperti DPR, KPU, Bawaslu dan media mainstream. Pegiat media sosial juga harus dirangkul karena ketika demokrasi itu harus dibuka selebar-lebarnya sebagai amanah dari UUD Pasal 28, maka kuncinya adalah kolaborasi, bukan kompetisi. KPU, Bawaslu, dll harus lebih memaksimalkan peran anak-anak muda dalam berbagai hal.
Tenaga Ahli KPU RI, Gebril Daulay mengungkapkan, KPU sangat konsen melawan pembuat dan penyebar hoaks, penghina SARA, dan politik uang dalam Pilkada serentak 2018. Dalam konteks regulasi, urainya, sudah jelas bahwa menghina SARA salah satu calon adalah bentuk pidana.
Menurutnya, pihak yang berperan mengantisipasi kampanye hitam dan politisasi SARA adalah pemilik platform media sosial, kita sudah melakukan berbagai kerjasama. KPU juga berterima kasih atas partisipasi banyak sekali anak muda untuk mencegah dan mengkampanyekan agar pilkada serentak 2018 bebas dari kampanye hitam.
“Dalam konteks pemilihan, media khususnya sudah diatur bahwa memang harus adil dan berimbang. Jika di media itu punya program untuk monolog, debat, dan lain-lain harus mengundang semua pasangan calon, terlepas pasangan calon itu datang atau tidak. Paling tidak media itu harus memberikan ruang yang adil dan berimbang. Media harus memberikan porsi yang sama,” pungkasnya.
Siaran pers Komunikonten kepada media ini, Selasa (20/2/2018) menyebutkan, Diskusi ini dimoderatori oleh Nihrawati AS (Pemimpin Redaksi Media di Bogor).
Hadir sebagai narasumber: Gebril Daulay (Tenaga Ahli KPU RI), Yophiandi Kurniawan (Praktisi Media), Hariqo Wibawa Satria (Direktur Eksekutif Komunikonten), dan Ridwan Budiman (Pegiat Literasi Media).
Pengamat media sosial dari Komunikonten, Hariqo Wibawa Satria mengatakan, konten fitnah, hoaks lahir dari pikiran pendek, yang ada di benak mereka hanya memenangkan kandidatnya tanpa memikirkan kepentingan nasional, karenanya mari jaga rapat redaksi tim media sosial dari godaan setan yang terkutuk. Hariqo juga mengimbau agar setiap konten yang diproduksi oleh tim sukses diberikan identitas atau kode tertentu, sehingga masyarakat dapat menilai, tim media sosial mana yang paling inovatif dan kreatif dalam mengkampanyekan kandidatnya di Pilkada serentak 2018.
“Keberagaman itu dari nikmat dari Tuhan, mempersoalnya apalagi merusaknya berarti melawan Tuhan. Para kandidat harus sadar bahwa konten fitnah, hoaks yang dilakukan tim medianya tidak akan memenangkan dirinya. Kampanye hitam bukan saja mendekatkan pelakunya ke neraka, tapi juga bisa berujung penjara”, ujar Hariqo Wibawa Satria.
Hariqo menambahkan, ada 17 Provinsi, 39 Kota, dan 115 Kabupaten yang akan melaksanakan Pilkada Serentak pada 2018. Semua kandidat tentunya memiliki tim media. Karena jangan sampai ada konten yang merusak keutuhan NKRI.
“Setiap tim media sosial kandidat dalam Pilkada Serentak 2018 harus berkompetisi memenangkan kandidatnya, itu pasti. Namun tim media sosial kandidat juga harus berkolaborasi menjaga keutuhan NKRI dengan melawan kampanye hitam dan politisasi SARA, tidak hanya saat Pilkada namun sampai kapanpun. Pilkada Serentak lebih dari sekadar ujian berdemokrasi, namun juga ujian dalam berbangsa dan bernegara”, tambah Hariqo yang juga sebagai Direktur Eksekutif komunikonten ini.
Sementara itu, Praktisi Media, Yophiandi Kurniawan mengatakan, pembuat konten media sosial saat ini banyak yang kreatif. Kampanye memang tujuannya meningkatkan derajat keterpilihan kandidat dan menurunkan tingkat keterpilihan kandidat lawan. Karenanya optimalkan potensi positif dan kreatif anak muda, bukan dengan menjerumuskan mereka dengan melakukan kampanye hitam.
“Setidaknya ada tiga karakteristik orang Indonesia terkait media dan informasi. Pertama, kurang mencerna informasi. Kedua, kurang berpendidikan tapi cepat menelan informasi. Ketiga, berpendidikan namun kurang mencerna informasi,” paparnya.
Menurut Yophiandi Kurniawan, membuat konten negatif itu susah. “Saya menilai orang-orang yang bisa membuat pesan negatif atau hitam yang reaktif ini punya tingkat kecerdasan tinggi, namun sayang sekali digunakan untuk hal-hal yang merusak orang banyak, saya menilai tingkat kerawanan hoax dan kampanye hitam ini sudah mengganggu keamanan berbangsa dan bernegara, karenanya negara harus terus melakukan langkah-langkah strategis.
Pegiat Literasi Media, Ridwan Budiman mengungkapkan, pemilih pemula pada Pilkada serentak 2018 nanti kurang lebih 10,6 juta dari total 160 juta DPT secara keseluruhan di 171 daerah yang menyelenggarakan. Mereka punya kemungkinan besar menjadi korban hoax. Terlebih, jika konten hoax tersebut disebarkan oleh orang terdekatnya, baik itu orangtua, kakak, adik, teman, bahkan pacarnya.
“10,6 juta itu adalah generasi masa depan Indonesia, konten-konten yang diproduksi saat Pilkada Serentak 2018 harus mampu membuat mereka terdidik dan bangga jadi orang Indonesia. Jangan mengajarkan politik yang menghalalkan segala cara kepada generasi muda Indonesia” papar Ridwan Budiman.
Karena itu menurut Ridwan, semua pihak harus berbenah, termasuk institusi vital demokrasi seperti DPR, KPU, Bawaslu dan media mainstream. Pegiat media sosial juga harus dirangkul karena ketika demokrasi itu harus dibuka selebar-lebarnya sebagai amanah dari UUD Pasal 28, maka kuncinya adalah kolaborasi, bukan kompetisi. KPU, Bawaslu, dll harus lebih memaksimalkan peran anak-anak muda dalam berbagai hal.
Tenaga Ahli KPU RI, Gebril Daulay mengungkapkan, KPU sangat konsen melawan pembuat dan penyebar hoaks, penghina SARA, dan politik uang dalam Pilkada serentak 2018. Dalam konteks regulasi, urainya, sudah jelas bahwa menghina SARA salah satu calon adalah bentuk pidana.
Menurutnya, pihak yang berperan mengantisipasi kampanye hitam dan politisasi SARA adalah pemilik platform media sosial, kita sudah melakukan berbagai kerjasama. KPU juga berterima kasih atas partisipasi banyak sekali anak muda untuk mencegah dan mengkampanyekan agar pilkada serentak 2018 bebas dari kampanye hitam.
“Dalam konteks pemilihan, media khususnya sudah diatur bahwa memang harus adil dan berimbang. Jika di media itu punya program untuk monolog, debat, dan lain-lain harus mengundang semua pasangan calon, terlepas pasangan calon itu datang atau tidak. Paling tidak media itu harus memberikan ruang yang adil dan berimbang. Media harus memberikan porsi yang sama,” pungkasnya.