Kasus Bank Maluku, Pembelian Lahan di Surabaya Tidak Masuk RBB

BERITA MALUKU. Kasubag Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Provinsi Maluku, Ahmad Fuadi mengakui, proses pembelian lahan dan gedung untuk pembukaan kantor cabang PT Bank Maluku-Maluku Utara di Surabaya senilai Rp54 miliar tidak masuk dalam Rencana Bisnis Bank.

"Sesuai aturannya, setiap kegiatan yang dilakukan oleh bank seharusnya dicantumkan dalam RBB dan wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia atau kepada OJK paling lambat bulan November tahun sebelumnya atau melakukan perubahan paling lambat bulan Juni berjalan," kata Ahmad di Ambon, Jumat (17/2/2017).

Penjelasan Ahmad disampaikan sebagai saksi dalam persidangan kasus dugaan korupsi dan TPPU dalam pembelian lahan dan gedung untuk pembukaan kantor cabang PT BM-Malut di Surabaya atas terdakwa Direktur Umum BUMD milik pemprov tersebut, Idris Rolobessy.

Menurut dia, pada tahun 2013 PT BM-Malut diberikan pembinaan dan pengawasan dari BI berupa penundaan perluasan jaringan kantor cabang, karena secara umum masih terdapat banyak kelemahan seperti kualitas dan kuantitas sumber daya manusia.

"Tahun 2014 BUMD ini melakukan pembelian tanah dan gedung di Surabaya yang dibutuhkan dan digunakan sebagai kantor cabang sebesar Rp54 miliar yang mana tidak terdapat dalam RBB 2014 sampai 2016," kata saksi dalam persidangan yang dipimpin ketua majelis hakim Suweno didampingi Christina Tetelepta dan Bernard Panjaitan selaku hakim anggota.

Lahan dan gedung tersebut berlokasi di Jalan Raya Damro nomor 51 Surabaya (Jatim) senilai Rp54 miliar dan saksi telah melihatnya saat melakukan tugas pengawasan ke lokasi tersebut.

Saksi juga melakukan konfirmasi ke berbagai pihak untuk pembanding seperti ke OJK dan BPN Surabaya selaku pihak pemerintah, notaris, dan KJP Toha serta KJP F4SD.

Sesuai informasi yang didapatkan, nilai jual objek pajak (NJOP) tanah di lokasi tersebut berkisar antara Rp13,9 juta meter persegi dan perkiraan harga tertinggi Rp60 juta meter per segi.

Sehingga berdasarkan informasi yang didapatkan, pengawas memperkirakan nilai rata-rata tanah di wilayah tersebut Rp50 juta meter persegi jadi seharusnya bank membayar hanya sekitar Rp45 miliar untuk tanah tersebut.

Tim pengawas OJK tidak berkewenangan menyatakan kewajaran atas nilai transaksi yang dilakukan bank karena pengawasan yang dilakukan lebih berfokus pada kesesuaian proses perbankan dengan ketentuan yang berlaku.

"KJP F4SD Firman Suryanto dan kawan-kawan juga mengakui tidak pernah melakukan penilaian dan menerbitkan laporan tanggal 28 Oktober 2014 dan dikuatkan dengan surat pernyataan tanggal 16 April 2015 dengan nilai Rp54,8 miliar yang ditandatangani Budi Susilo dan rekan," katanya.

Subscribe to receive free email updates: