Pengamat : Polri Serang Balik FPI dan Yang Secingkrangan Dengannya!

Polri Serang Balik FPI dan yang Secingkrangan Dengannya

Penulis : Alifurrahman

Dalam sebuah pertandingan sepak bola, ada istilah mengontrol permainan. Tim yang biasa mengontrol permainan adalah tim yang menguasai bola lebih bagus dan memiliki kemungkinan menang lebih besar. Contoh sempurna tim pengontrol permainan adalah Barcelona. Menurut Pakar Mantan, saat mereka pegang bola, lawannya akan berpikir keras untuk memilih antara menghentikan aliran bola atau tetap membuntuti Messi.

Saat FPI menggelar aksi Bela Islam jilid 1 dan 2, mereka benar-benar mengontrol permainan. Kapolri Tito Karnavian sampai harus melakukan diskresi untuk memproses Ahok, sesuai dengan tuntutan pendemo.

“Bahkan ketentuan di UU Pilkada yang (proses hukum terhadap calon) ditunda setelah Pilkada itupun sudah dilanggar. Tapi ini bukan pelanggaran hukum saja, hanya pelanggaran internal saja, diskresi dilakukan karena melihat kepentingan kasus ini,” kata Kapolri Jenderal Tito Karnavian.

FPI dan yang secingkrangan dengannya sudah berhasil menekan. Pada 411 lalu sebenarnya mereka sempat memaksa agar Ahok ditangkap pada hari itu juga. Permintaan yang tidak dikabulkan inilah yang kemudian sempat membuat pendemo ngamuk. Lempar-lemparan.

Saat itu harus kita akui bahwa mereka mengontrol permainan. Selain punya massa yang banyak, terlepas tidak semuanya memiliki tuntutan yang sama, mereka juga didukung tokoh-tokoh politik seperti Fadli, Fahri dan Amien.

Tapi setelah Ahok jadi tersangka dan mereka masih tetap ngotot, maka terlihatlah betapa FPI dan yang secingkrangan dengannya tidak benar-benar sedang membela Islam. Mereka sedang bermain politik takebeer. Masyarakat sudah banyak yang sadar.

Selanjutnya Kapolri keluarkan pernyataan resmi melarang demo 212, maka otomatis bola sedang dalam kontrol penuh Kapolri. FPI sudah tak bisa berkutik, sebab mereka dilarang demo. Sementara mau mengerahkan massa dalam jumlah banyak, pun sudah tidak seleluasa sebelumnya, sebab sudah banyak masyarakat yang sadar.

Saat Polri pegang kendali, saya pikir semuanya akan diselesaikan tanpa ribut-ribut lagi. Yang sudah ya sudahlah, sama seperti banyak kasus sebelumnya. Seperti kasus obor rakyat contohnya, setelah Pilpres ya sudah tak perlu diusut.

Tapi Kapolri Tito sepertinya lain. Dia tak ingin kompromi dan selesai begitu saja. Mungkin karena aksi Bela Islam 411 sudah membuat banyak pasukan Polisi tumbang. Banyak yang tertusuk bambu runcing, ada yang sampai gegar otak karena menahan massa. Maka sekarang ini saatnya “Turn Back Crime” melawan kejahatan.

Aksi turn back crime dimulai dengan delapan orang yang dipanggil penyidik Subdit Keamanan Negara (Kamneg) Ditreskrimum Polda Metro Jaya tekait kasus penghinaan terhadap Presiden. Mereka adalah Habib Rizieq, Prof Dr H Amien Rais, Munarman, HS, Dr H Eggi Sudjana, SH, MSi, Ratna Sarumpaet, Mulan Jameela dan Ahmad Dhani.

Panggilan ini resmi dan mereka tak bisa menolak. Kalau kabur malah akan berdampak lebih buruk. Rizieq dan Munarman yang seenak jidatnya menghina Presiden Jokowi, kini sedang diproses hukum. Ada kemungkinan 70% mereka akan ditangkap. Terlalu mudah bagi Polri untuk mendapatkan bukti-bukti, bahkan kita rakyat biasa saja sudah tau semua. Selain itu, bukti rekamannya juga terlalu banyak. Too much kalau kata Pak Mantan.

Sekarang saatnya pembuktian. Jika sebelumnya mereka petantang petenteng menghina Jokowi, berulang kali, setelah dipanggil seperti ini apakah akan tetap koar-koar lantang seperti sebelumnya? Atau malah merengek seperti tikus dalam cengkraman kucing. Kita lihat nanti.

Tapi sebenarnya saya agak menganut “sing wes yo wes” asal kebaikannya lebih besar. Tak masalah soal penghinaan Presiden, asal situasi nasional sudah kondusif dan investor ditakut-takuti lagi dengan jubah putih mirip kuntilanak. Damai damai damai. Tapi kalau Kapolri mau mengusut tuntas atas nama hukum atau merasa ada harga yang harus mereka bayarkan sebab sudah memprovokasi massa untuk menusuk dan memukul pasukan Polisi, itupun kita dukung.

Karena sekalipun semua mereka tidak ditangkap atau dipenjara, minimal mereka diberi tahu bahwa Jokowi adalah Presiden Indonesia. Tidak boleh sembarangan menghina, sebab demokrasi tidak berarti boleh mencaci maki tanpa alasan yang jelas. Atau bisa juga orang-orang yang selama ini membackup mereka bisa muncul ke permukaan dan kita tandai. Sebab keberanian mereka untuk mencaci (80%) pasti karena merasa punya kenalan atau backup yang bisa meredam jika diperkarakan.

Apapun itu, buat Kapolri Tito Karnavian, terima kasih telah berhasil memberi contoh teladan yang baik. Selama ini kita kekurangan idola dari kalangan Polisi. Terima kasih.

Terakhir, kalau memang ini saatnya bersih-bersih dari kenangan mantan, maka mari pastikan tak ada yang tersisa.

Selengkapnya :
http://ift.tt/2ggi3zE

Subscribe to receive free email updates: