Mencari Pasal Tepat Jerat Ahmad Dhani

Mencari Pasal Tepat Jerat Ahmad Dhani
Sumber gambar: rakyat-jabar.com
JAKARTA - Puluhan orang yang mengaku relawan Joko Widodo semasa Pilpres 2014 melaporkan calon Wakil Bupati Bekasi Ahmad Dhani ke Polda Metro Jaya. Relawan yang tergabung dalam Ormas Pro Jokowi (Projo) dan Laskar Rakyat Jokowi (LRJ) itu yang merasa tersinggung dengan ucapan Ahmad Dhani yang menghina Presiden Jokowi saat berorasi di depan massa demo 4 November di Taman Pandang Istana Negara, Jalan Medan Merdeka Barat.

Namun tepatkah pasal 207 KUHP yang digunakan sebagai alas laporan mereka untuk menjerat Ahmad Dhani? Apakah Projo dan LRJ memiliki legal standing untuk melaporkan Ahmad Dhani mengingat pasal 207 merupakan delik aduan (klacht delict) sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga ada ketentuan siapa saja yang berhak melaporkan kasus yang disangka dengan pasal 207.

Sebelum masuk ke situ, ada baiknya kita lihat dulu 'kesalahan' Ahmad Dhani sehingga kemudian dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Saat berlangsung aksi unjuk rasa 4 November lalu, Ahmad Dhani yang tiba di Taman Pandang Istana Negara, Jalan Medan Merdeka Barat, sekitar pukul 13.25 WIB dengan didampingi istrinya, Mulan Jameela, melakukan orasi sekitar 10 menit. Sebab saat Ahmad Dhani sedang orasi, masaa yang mengenakan atribut Himpunan Mahasiswa Islam membuat 'gaduh' karena berusaha merangsek ke depan. Saat itu jarak antara mobil yang digunakan untuk panggung orasi dengan pagar betis polisi tidak sampai 20 meter.

Dalam orasinya, Ahmad Dhani banyak mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas seperti Jokowi presiden an…ng, ba.., dan lain sebagainya. Beberapa pendemo yang berada di samping mobil yang digunakan sebagai panggung orasi, mengingatkan agar Ahmad Dhani tidak menghina Presiden. Ahmad Dhani sepertinya menyadari kekeliruan itu sehingga kemudian menyudahi orasinya. Bahkan seperti ada kalimat bernada sesalan yang sempat terucap, “Tapi saya ndak boleh bilang begitu.”

Bukan kali ini saja Ahmad Dhani mencaci-maki Presiden Jokowi dengan kata-kata kasar. Meski posisi presiden apakah simbol negara atau bukan masih debatable, tetapi tindakan Ahmad Dhani tidak bisa dibenarkan.  Mengkritisi suatu sikap atau kebijakan kepala negara, atau kepala daerah, tidak perlu diungkapkan dengan kata-kata kasar. Masih banyak kata-kata yang baik tetapi memiliki makna yang lebih kuat untuk mewakili ungkapan kekesalan atau kekecewaan. Sebagai musisi, pencipta lagu, Ahmad Dhani tentu tahu soal itu.

Ataukah Ahmad Dhani melakukan hal itu sebagai katarsis diri atas persoalan pribadi yang sudah mengendap sekian tahun sehingga menjadi tidak terkontrol? Layaknya kleptomania yang merasa gagal dalam hidupnya jika tidak mencuri, mungkinkah Ahmad Dhani merasa kurang gagah jika tidak mencaci-maki presiden?

Terlepas apapun alasannya, sudah semestinya kelakuan Ahmad Dhani diproses secara hukum. Ungkapan kebencian dan caci-maki Ahmad Dhani bukan ungkapan spontan, tetapi sudah menjadi trademark. Tetapi pasal mana yang tepat untuk menjeratnya agar masuk kurungan?

Sebenarnya yang paling tepat untuk menjerat Ahmad Dhani adalah pasal 134 dan 136 KUHP.  Namun 'pasal karet' ini sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 lalu setelah Eggy Sudjana dan Pandapotan Lubis mengajukan judicial review. Saat itu Edy Sudjana sempat menjadi sangka dalam kasus penghinaan kepala negara karena menuduh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima mobil Jaguar dari pengusaha Harry Tanoesoedibjo. Upaya Presiden Jokowi untuk menghidupkan kembali pasal tersebut mendapat kecaman luas, terutama dari kalangan pers dan aktivis karena dianggap mengancam kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. Sebagai 'jalan tengahnya', Kapolri (saat itu) Jenderal Pol Badrodin Haiti menerbitkan Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (SE Hate Speech). Tetapi SE Hate Speech bukanlah produk undang-undang sehingga tidak memiliki kekuatan hukum untuk menjerat pelaku penyebar ujaran kebencian. SE Hate Speech hanya pedoman bagi polisi di lapangan ketika menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan penghinaan, pencemaran nama baik, provokasi  dan sejenisnya.

Dengan demikian, apa yang dilakukan Ahmad Dhani tidaklah bisa dijerat dengan SE Hate Speech. Satu-satunya pasal yang masih memungkinkan hanya pasal 207 KUHP yang selengkapnya berbunyi, “Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Persoalannya, seperti sudah disebutkan di atas, pasal 207 KUHP bukan delik biasa, melainkan delik aduan sesuai putusan MK. Dalam hal delik aduan, maka polisi baru bisa memproses suatu kasus jika ada laporan dari pihak yang dirugikan. Dengan kalimat lain, pelaku delik aduan hanya bisa dilakukan proses hukum jika ada persetujuan korbannya. Apakah pihak yang dirugikan tersebut bisa diwakilkan, atau digantikan oleh orang lain?

Dalam berbagai kasus hukum, pelaporan kasus delik aduan bisa diwakilkan jika korbannya masih di bawar umur. Jika pun dipaksakan menggunakan 'wakil yang sah' sesuai ketentuan pasal 72 KUHP, akan muncul apakah Projo dan LRJ merupakan wakil sah dari Presiden Jokowi?

Hal ini berbeda dengan kasus  Yulianus Paonganan atau Ongen, dan Muhammad Arsyad. Keduanya dijerat dengan UU Pornografi dan juga Informasi dan Transaksi Elektronik. Presiden Jokowi secara resmi melaporkan pengunggah foto editan dirinya, melalui kuasa  hukumnya sehingga kasus tersebut dapat diproses. Meskipun demikian, tetap saja muncul polemik terkait perwakilan tersebut karena menurut sebagian pakar hukum, delik aduan tetap tidak bisa diwakilkan  meski oleh kuasa hukumnya, kecuali korban masih di bawah umur.

Mari kita kesampingkan dulu soal kuasa hukum sebagai wakil pengadu. Kita anggap saja hal itu diperbolehkan. Nah, pertanyaannya sekarang, apakah Projo dan LRJ merupakan kuasa hukum Presiden Jokowi?

Akan panjang perdebatan mengenai legal standing terkait pelapor/pengadu dalam kasus yang merupakan delik aduan. Artinya, kecil kemungkinan pihak kepolisian akan memproses Ahmad Dhani jika hanya berdasarkan laporan Projo dan LRJ, kecuali Presiden Jokowi sendiri yang melaporkannya.

Lalu bagaimana sebaiknya agar Ahmad Dhani mendapat 'hukuman' atas celotehannya yang tidak pantas dan menyakiti jutaan pendukung Jokowi? Hal yang paling mudah adalah menghukum dengan 'pasal' moral. Hukuman sosial jauh lebih mengerikan dibanding hukuman badan. Sebab hukuman moral bersifat permanen, tanpa ada batasan waktu.

Hukuman moral seperti apa yang pantas diberikan? Mungkin boikot terhadap produk usahanya. Mungkin juga boikot terhadap hak politiknya dengan tidak memberikan suara saat Ahmad Dhani mengikuti kontestasi politik. Semoga kasus ini juga menjadi pelajaran untuk Ahmad Dhani untuk bisa mengerem ucapannya. Berbeda pilihan politik, berbeda pendapat dengan kebijakan kepala pemerintahan, bukan aib, bukan pula dosa. Tetapi untuk mengekspresikannya tentu tidak harus dengan caci-maki dan ujaran-ujaran 'comberan'.

Salam @yb
Sumber: Kompasiana 
Penulis : Yon Bayu

Subscribe to receive free email updates: