Calon Gubernur DKI : Pilih Yang Jago Kerja, Jago Berkata-Kata, Atau Yang Baru Kenal?

Pilgub DKI: Pilih yang Bisa Kerja, Pandai Berkata-kata atau yang Baru Dikenal?

Penulis : Alifurrahman

Melihat tayang ulang Mata Najwa yang sedang merayakan ulang tahun ke 7 nya, saya jadi tambah salut dengan Ahok. Beliau berani meminta maaf atas apa yang sudah diucapkannya karena kemudian dianggap menyinggung banyak orang. Ini mungkin untuk yang ke 3 kalinya Ahok meminta maaf secara terbuka saat mendapat pertanyaan yang sama. Tapi juga di saat yang sama, saya jadi tambah muak dengan Anies Baswedan. Karena tepat setelah Ahok menyatakan tidak ada niat untuk melecehkan ummat agama manapun, Anies memanfaatkan momen tersebut untuk menjelaskan bahwa kata-kata itu penting, jadi tidak hanya kerja kerja kerja. Kampanye haha.

Syukurlah Presiden Jokowi memecatnya. Karena Anies nampak sangat oportunis, memanfaatkan celah sekecil apapun untuk kepentingan dirinya sendiri. Saat ada peluang di Demokrat, Anies nyapres. Ada peluang di Jokowi, Anies jadi juru kampanye. Ada peluang di Pilgub, Anies nyagub. Bahkan ada peluang di kesalahan Ahok, Anies memanfaatkannya untuk tambah menyalahkan dan menyindir, dengan kemasan nasehat berlandaskan teori. Hoeeeek *muntah ijo gue.

Anies nampaknya tak peduli dengan sesuatu yang sedang mengancam negeri ini. Tak peduli dengan FPI yang sudah berhasil memprovokasi dan menggerakkan massa untuk melakukan makar. Anies hanya peduli pada ambisi dirinya menjadi Gubernur Jakarta. Sedikitpun tak memberi ruang untuk meringankan beban Ahok yang sebenarnya sudah di luar batas, sudah keterlaluan untuk sebuah beban provokasi. Andai saya di posisi Anies dan sedang bersaing dengan Ahok, kemudian ada masalah provokasi dan berujung upaya makar, maka saya akan lupakan sejenak tentang politik dan pencalonan.

Pernyataan Anies ini kemudian menjadi penguat bahwa Anies memang enggan menenangkan massa. Malah mendukung jika ada ribut-ribut. Selengkapnya saya pernah singgung soal sikap Anies di: http://ift.tt/2fkW6Cy

Tapi kemudian saya sadar, bahwa apa yang dikatakan oleh Anies Baswedan memang ada benarnya. Kata-kata itu penting, jadi tidak hanya kerja kerja kerja. Bahkan kalau mau dianalisa lebih serius, sebenarnya kata-kata seorang pemimpin jauh lebih penting dari pada kerjanya. Itu yang sedang terjadi di Indonesia.

Contoh kongkritnya adalah SBY. Meskipun selama 10 tahun hanya sibuk membuat album dan menulis catatan curhat sebagai Presiden, membiarkan proyek mangkrak dan nyaris tak melakukan apa-apa selain ternak koruptor di partainya, namun fakta dan sejarah akan mencatat bahwa SBY terpilih dua periode sebagai Presiden Indonesia.

Apa yang mampu mempertahankan SBY selama 10 tahun? Jawaban paling logisnya adalah kata-kata terukur dan pernyataan lebay tralala. Saat ada teroris, SBY bilang prihatin. Saat ada rusuh, SBY bilang prihatin. Hampir di semua kasus selama 10 tahun sebelumnya, SBY selalu mengatakan prihatin. Sudah menjadi trade mark seorang SBY, seperti trade mark begitulah kura-kura ala Pakar Mantan.

Tapi sebagai pendukung loyal Presiden Indonesia, saya melihat sudah ada pergeseran pada pola pikir masyarakat. Sejak 2012 masyarakat sudah mulai cerdas dalam memilih pemimpin. Suka tidak suka kemenangan Jokowi di Pilgub 2012 melawan pertahana yang didukung partai koalisi gajah merupakan simbol perubahan pola pikir masyarakat Jakarta. Masyarakat mulai cerdas dan bisa memilih mana yang bisa bekerja dan tidak. Tak banyak yang bisa dikatakan oleh Jokowi saat kampanye. Tapi masyarakat mau memilihnya karena tau bahwa program-program dan kata-katanya mudah dipahami. Bukan seperti kebanyakan politisi yang begitu menyenangkan, tapi setelah selesai ya tidak ada apa-apa. Kata-kata politisi mirip nasi padang setengah porsi, kenyang sebentar, tapi setelah itu lapar lagi.

Ditambah pada 2014, Jokowi menang atas Prabowo. Padahal Jokowi bukanlah ketua umum partai yang pandai berkata-kata. Tidak tegas dalam berkata, tidak vokal dalam merngkainya. Tapi lagi-lagi masyarakat Indonesia sudah mengalami pergeseran selera dalam memilih pemimpin. Masyarakat memenangkan Jokowi sebagai Presiden karena bukti-bukti kerjanya sangat kongkrit dan tak terbantahkan. Apa yang dilakukan Jokowi di Solo dan Jakarta adalah bukti nyata bahwa dirinya bisa bekerja. Sementara di sisi lain Prabowo baru bisa merangkai kata-kata.

Kelemahan Jokowi dalam merangkai kata ini pula lah yang kemudian menjadi masalah besar saat awal-awal menjadi Presiden. Segelintir masyarakat ada yang mempermasalahkan jawaban “bukan urusan saya” yang kemudian disambung-sambungkan dengan setiap kasus. Presiden Jokowi juga terlalu jujur menjawab tidak baca apa yang ditanda tanganinya, terkait dokumen, sehingga membuat kaum provokator berpesta pora dengan pernyataan tersebut, seolah Presiden tak tau apa-apa dan tak bisa apa-apa. Padahal kenyataannya, memang tidak semua dokumen perlu dibaca satu persatu oleh Presiden. Dari dulu sudah begitu. SBY juga sama. Kalau Presiden harus baca secara teliti, satu persatu, maka 24 jam sehari dan 7 hari seminggu tak akan cukup untuk memeriksa setiap dokumen yang masuk.

Logat ndeso Jokowi di forum nasional saat memberikan presentasi juga sempat dipermasalahkan. Segelintir masyarakat menilainya tidak bagus, tidak bisa berbahasa inggris dan sebagainya. Padahal tidak ada hubugannya antara logat dan kemampuan bahasa inggris. Sehingga berani saya simpulkan bahwa mereka yang nyinyir sebenarnya belum pernah ke luar negeri atau tidak punya teman dari negara asing yang bahasa utamanya bukan bahasa inggris.

Tapi terlepas dari itu semua, Jokowi adalah presiden hasil pemilu. Jokowi dipilih oleh mayoritas masyarakat Indonesia yang kemudian saya simpulkan sudah mulai cerdas dalam memilih pemimpin. Memilih yang bisa bekerja, bukan yang hanya pandai berkata-kata.

Bahwa kemudian ada yang masih berisik mempermasalahkan cara komunikasi dan kata-kata Presiden Jokowi, saya bisa pastikan itu hanya segelintir orang, sisa-sisa masyarakat pengagum SBY. Yang kalau ada masalah bisa diselesaikan dengan kata-kata prihatin. Jumlah mereka sedikit, namun berisik. Minimal jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding masyarakat yang memilih Presiden Jokowi. Hal ini dapat dipastikan dengan suara hasil pemilu 2014.

Menjelang Pilgub 2017 nanti, kebetulan Anies Baswedan mengingatkan pentingnya kata-kata. Sehingga menjadi menarik untuk kita lihat hasilnya nanti, apakah masyarakat akan memilih pemimpin yang tak mampu berikan kata-kata manis, tapi bekerja. Rakyat Jakarta ibarat anak gadis yang sedang memilih pasangan, apakah mereka akan memilih pasangan yang pekerja keras dan menjamin kehidupannya, memilih orang romantis nan puitis tapi tak bisa kerja, ataukah memilih lelaki yang baru dikenal beberapa bulan terakhir dan tak jelas apa kemampuannya? Jawabannya dapat kita lihat pada Februari 2017 nanti.

Namun menurut saya hasilnya tak akan jauh dari hasil tahun 2012 dan 2014. Masyarakat tak terlalu peduli dengan kata-kata, kita sudah kenyang dengan kata prihatin SBY selama 10 tahun, sekarang saatnya memilih yang bisa bekerja dan melakukan sesuatu.

Selengkapnya :
http://ift.tt/2gsmB4U

Subscribe to receive free email updates: